Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Dalam sepekan banyak peristiwa terjadi, banyak tokoh pembuat berita yang datang dan pergi. Mungkin saja ada peristiwa lama yang muncul dengan tokoh baru, bisa juga peristiwa baru dengan tokoh lama. Selama sepekan (9—13 November 2015) telah terjadi berbagai kemungkinan. Inilah lima newsmakers yang membuat kita tidak bisa berpaling dari mereka selama sepekan
Sudirman Said, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Yang juga meramaikan media pekan ini adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. Ia menyebutkan adanya tokoh politik yang sangat berkuasa mencoba menjual nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) kepada Freeport. Dengan mencatut nama Presiden dan Wapres, politisi itu menjanjikan ke Freeport agar kontrak bisa segera diberikan. "Seolah-olah Presiden minta saham. Wapres juga dijual namanya. Saya sudah laporkan kepada keduanya. Beliau-beliau marah karena tak mungkin mereka melakukan itu," ujar Sudirman Said seperti dikutip dalam acara Satu Meja yang ditayangkan Kompas TV dan dikutip Kompas, Selasa (10/11). Namun, dia mengaku tak bisa menyebut siapa politisi yang coba menjual nama dua pimpinan tertinggi republik itu.
HM Prasetyo, Jaksa Agung
Dari media kita mengetahui bahwa kasus dugaan korupsi bantuan sosial (bansos) Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menjalar ke mana-mana. Pekan ini yang ikut sibuk adalah Jaksa Agung HM Prasetyo. Jaksa Agung membantah tuduhan bahwa anak buahnya menerima suap dalam pengusutan kasus bansos itu. Menurut Prasetyo, tuduhan tersebut merupakan upaya perlawanan koruptor terhadap penegak hukum. "Selama ini kita merasakan ada semacam corruptor fight back.Segala cara dilakukan supaya jajaran penegak hukum khususnya Kejaksaan jadi demoralisasi," ujar Prasetyo saat ditemui di Ancol, Jakarta Utara, Kamis (12/11). Menurut Prasetyo, isu-isu seperti itu sudah lama dituduhkan kepada pejabat di lingkungan Kejaksaan.
Jusuf Kalla, Wakil Presiden
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa pemerintah tidak akan meminta maaf terhadap korban pelanggaran berat HAM tahun 1965. Menurut Kalla, dalam peristiwa itu, yang menjadi korban adalah pemerintah karena dibunuhnya beberapa jenderal dalam peristiwa G30S PKI. "Jadi, yang pertama kali korban itu adalah jenderal kita. Mestinya, mereka (pembunuh jenderal) minta maaf karena sudah melakukan itu kepada negara," kata Kalla menanggapi perihal pengadilan rakyat kasus 1965 di Gedung Kemenlu, Jakarta, Rabu (11/11). Ia melanjutkan, pemerintah juga tidak akan meminta maaf terhadap konflik antar-masyarakat yang terjadi di sekitar tahun 1965. Alasannya, pemerintah tidak terlibat dalam konflik tersebut.
Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta
Dari media kita mengetahui perihal kasus anak kurang gizi agaknya membikin Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama kesal. Dia merasa dalam kasus anak kurang gizi yang berinisal RGM (9), neneknya memanfaatkan derita si anak. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama meminta warga Jakarta untuk tidak terlalu baik hati memberi bantuan kepada warga kurang mampu. "Saya sudah cek, keluarga anak ini yang menarik. Kenapa menarik? Disinyalir, banyak yayasan membantu, dan orang Jakarta terlalu baik hati," kata Basuki di Balai Kota, Rabu (11/11). Ahok batal memberikan bantuan kepada RGM karena kondisi Taminah, sang nenek, yang berbanding terbalik dengan cucunya. Meski demikian, Basuki menegaskan akan tetap merawat RGM hingga sembuh. Menurut Ahok, Taminah terus memaksa cucunya serta suaminya yang menderita stroke untuk keluar dari rumah sakit. "Enak di rumah sakit ada suster dirawat, kami ganti seprainya, dan dimandiin juga. Kalau Anda enggak bisa urus suami dan cucu, siniin saja, serahkan kepada kami," kata Ahok di Balai Kota.
Muladi, Ketua Mahkamah Partai Golkar hasil Munas Riau
Dari media kita mengetahui betapa Ketua Mahkamah Partai Golkar hasil Munas Riau, Muladi, menyatakan bahwa putusan Mahkamah Agung (MA) terkait sengketa Partai Golkar mengandung multitafsir. Putusan itu pun membuyarkan harapan para kader yang menginginkan adanya penyelesaian sengketa internal. Menurut Muladi, para kader berharap keputusan hakim agung sebagai pengadilan tertinggi dapat menghasilkan resolusi penyelesaian konflik. Namun, terjadi multitafsir di antara kedua pihak yang bersengketa sesuai dengan kepentingannya masing-masing. "Saya tidak menyalahkan MA. Mungkin MA tidak berani melakukan keputusan yang ekstrapetita, di luar kewenangannya. Tapi, sebenarnya, MA itu mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik ini kalau mau," kata Muladi, di Jakarta, Selasa (10/11).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News