Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Dalam sepekan banyak peristiwa terjadi, banyak tokoh pembuat berita yang datang dan pergi. Mungkin saja ada peristiwa lama yang muncul dengan tokoh baru, bisa juga peristiwa baru dengan tokoh lama. Selama sepekan (7—11 Desember 2015) telah terjadi berbagai kemungkinan. Inilah lima newsmakers yang membuat kita tidak bisa berpaling dari mereka selama sepekan
Jokowi, Presiden RI
Dari media kita mengetahui bahwa kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden sudah merebak sejak pertengahan Desember, namun baru Senin (7/12) Presiden Joko Widodo meluapkan kemarahannya. Itu setelah membaca transkrip pembicaraan secara utuh antara Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto dan pengusaha Riza Chalid saat bertemu dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin. Menurut Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, Jokowi sudah menahan amarah sejak pagi atau siang hari. Pada Senin petang, Jokowi sempat memberi pernyataan kepada media mengenai persiapan pelaksanaan pilkada serentak. Saat itu, Jokowi masih terlihat tenang. Namun, raut wajah dan suaranya mendadak berubah ketika ditanya mengenai proses persidangan yang berjalan di Mahkamah Kehormatan Dewan. Dia mengacungkan jari telunjuknya sebagai penegas dari perkataannya. "Saya tidak apa-apa dikatakan Presiden gila! Presiden sarap, Presiden koppig, tidak apa-apa. Tapi kalau sudah menyangkut wibawa, mencatut meminta saham 11 persen, itu yang saya tidak mau. Tidak bisa. Ini masalah kepatutan, kepantasan, moralitas. Itu masalah wibawa negara," ungkap Jokowi dengan nada tinggi.
Setya Novanto, Ketua DPR RI
Didengar keterangannya atas kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden, Ketua DPR Setya Novanto menyebut Menteri ESDM Sudirman Said memberikan keterangan palsu saat bersaksi di hadapan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) pekan lalu. "Bahwa dengan tegas saya menolak keterangan/kesaksian saudara pengadu Sudirman Said yang jelas-jelas tidak sesuai dengan fakta dan hanya merupakan cerita pihak ketiga kepada Sudirman," kata Novanto membacakan keterangan tertulisnya di hadapan sidang MKD, Senin (7/12). Adapun sidang MKD berlangsung tertutup. Novanto juga menyebut keterangan yang diberikan Sudirman tidak benar dan tidak memiliki nilai pembuktian. Ia bahkan menganggap Sudirman telah mencemarkan nama baiknya dengan membuat laporan pencatutan nama itu. Novanto menambahkan, selama ini dirinya tidak pernah menyalahgunakan wewenang yang dimiliki sebagai pejabat publik. Ia membantah telah meminta saham kepada PT Freeport Indonesia untuk Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, serta saham untuk pembangunan PLTA. "Saya mohon kepada Yang Mulia untuk dapat mengesampingkan kesaksian yang diberikan oleh Saudara Sudirman Said," kata Novanto.
Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR RI
Fahri Hamzah mempertanyakan kemarahan Presiden Joko Widodo terkait dugaan namanya dicatut untuk mendapatkan saham PT Freeport Indonesia. Menurut dia, sikap Presiden itu tidak tepat. "Presiden hati-hati. Jangan dia marah secara tidak proporsional," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/12). Fahri menilai wajar jika nama Presiden dibawa-bawa dalam sebuah obrolan antara Novanto, pengusaha Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddinyang sifatnya internal. Sebab, Presiden sangat terkenal dan merupakan orang nomor satu di negara ini. Terlepas benar atau tidaknya nama Presiden digunakan untuk meminta saham, menurut Fahri, belum ada kerugian negara yang terjadi. Fahri menilai, Presiden justru seharusnya marah pada saat menteri-menteri menggunakan namanya untuk membuat sebuah kebijakan.
Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Politik Hukum, dan Keamanan
Dari media kita tahu bahwa nama Luhut Binsar Pandjaitan acap disebut-sebut terkait dengan kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden. Hal itu agaknya membuat Luhut gusar. Makanya, Luhut menggelar konferensi pers pada Jumat (11/12). Dia menegaskan tidak pernah meminta sepersen pun saham perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu. Lagi pula, dia menganggap, adanya dugaan permintaan saham itu sangat tidak masuk akal. "Saya tidak pernah meminta saham Freeport, tapi begini ya, apakah masuk akal, seseorang memberikan saham Freeport 20 persen kepada siapa pun itu. Itu sama saja dengan 1,8 miliar dollar AS atau mungkin sekarang 1,6 miliar dollar AS," ujar Luhut. Menurut Luhut, hal tersebut tidak masuk akal lantaran Freeport tercatat sebagai perusahaan publik di New York, AS. "Kalau sampai ada yang berikan (saham), itu harus komisioner, bukan presdir Freeport Indonesia. Sehingga, kalau ada orang minta itu, menurut saya, aneh," tukas Luhut.
Mahfud MD, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
Merebaknya kasus “papa minta saham” membuat Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD berkomentar. Menurut Mahfud, Mahkamah Kehormatan Dewan sebaiknya fokus dulu pada penyelesaian dugaan pelanggaran etik oleh Ketua DPR RI Setya Novanto. "Terlepas dari soal keabsahan perekaman, tapi kalau kebenaran materiilnya sudah ada, maka pencatutan nama Presiden dan Wapres itu merupakan pelanggaran berat," ujar Mahfud melalui pesan singkat, Rabu (9/12). Mahfud mengatakan, semestinya keabsahan perekaman itu dibawa ke ranah hukum, bukan dipermasalahkan di sidang MKD. "Seumpama pun prosedur perekaman itu melanggar hukum maka itu tak menghilangkan fakta bahwa secara nyata SN melanggar etika berat," kata Mahfud.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News