Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Pekan ini, berita yang mencuat di media adalah perihal revisi Undang-Undang KPK. Tentu saja ini mengundang komentar dari sejumlah tokoh. Selama sepekan ini (5-9 Oktober) kita dihujani dengan pendapat tokoh mengenai revisi UU KPK. Tapi, yang juga membetot perhatian adalah terpilihnya Fadli Zon sebagai Presiden Konferensi Anggota Parlemen Global untuk Melawan Korupsi (GOPAC). Terpilihnya Fadli juga memicu protes oleh beberapa kelompok masyarakat. Berikut lima newsmakers yang membuat kita tidak bisa berpaling dari mereka selama sepekan.
Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI
Dari media kita dapat melihat bahwa Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI, terpilih sebagai Presiden Konferensi Anggota Parlemen Global untuk Melawan Korupsi (GOPAC) dalam konferensi keenam GOPAC yang diselenggarakan di Hotel Royal Ambarukmo, Yogyakarta. Konferensi internasional ini digelar pada 6-8 Oktober 2015. Dalam pemilihan, Fadli bersaing dengan John Hyde yang merupakan politisi senior dari Australia dan Osei Kyie Mensah Bonsu dari Ghana. "Saya merasa terhormat atas kepercayaan ini sekaligus menjadi tanggung jawab yang besar," kata Fadli Zon dalam jumpa pers, di Hotel Royal Ambarukmo Yogyakarta, Kamis (8/10). Dalam masa jabatannya selama dua tahun, Fadli mengungkapkan akan fokus pada implementasi Deklarasi Yogyakarta yang merupakan hasil dari pelaksanaan keenam GOPAC di Yogyakarta. "Merekomendasikan adanya pengadilan korupsi internasional. Kita dorong sebagai salah satu agenda penting," kata dia.
Sohibul Iman, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Presiden PKS Sohibul Iman menegaskan, partainya menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang kini diusulkan oleh enam fraksi di DPR. Dia mengaku sudah mempelajari draf revisi UU itu dan tidak melihat ada upaya penguatan terhadap KPK. "Isi materi itu bukan perbaikan, tapi pelemahan KPK. Jelas kami tidak dalam posisi itu," kata Sohibul saat dihubungi, Kamis (8/10). Sohibul mengatakan, memang ada kebutuhan untuk memperbaiki UU KPK setelah 15 tahun berdiri. Akan tetapi, agar hasilnya konstruktif bagi pemberantasan korupsi, maka perubahan UU harus berdasarkan inisiatif pemerintah. Beberapa poin revisi yang menjadi perhatian, antara lain, KPK diusulkan tak lagi menyelidik dan menyidik perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. KPK juga dilarang menangani perkara yang nilai kerugian negaranya di bawah Rp 50 miliar. Selain itu, KPK diusulkan hanya memiliki masa kerja selama 12 tahun.
Indriyanto Seno Adji, Pimpinan Sementara KPK
Pimpinan sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indriyanto Seno Adji menolak pasal-pasal yang tercantum dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Ia mengatakan, KPK tak ada gunanya lagi jika peraturan itu disahkan dan KPK dilumpuhkan. "Kalau pasal-pasal ini tetap ada, lebih baik KPK dibubarkan saja. Jangan sekali-sekali lembaga trigger ini diamputasi," ujar Indriyanto di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (7/10). Salah satu pasal yang ditolak Indriyanto yaitu Pasal 5 yang menyatakan usia KPK hanya 12 tahun sejak peraturan tersebut diberlakukan. Pasalnya, menurut Indriyanto, sejarah UU KPK itu sama sekali tidak berbasis durasi, tapi untuk maksud dan kondisi. Jadi, "KPK bisa ditutup kalau korupsi bersih sama sekali. Kalau belum, harus tetap hidup, dan inilah KPK," kata Indriyanto.
Abdullah Hehamahua, Mantan Penasihat KPK
Mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua, bereaksi terhadap draf revisi Undang-Undang KPK. Salah satunya pada pembatasan usia KPK hanya 12 tahun setelah undang-undang tersebut berlaku. "KPK di Hongkong, Singapura, dan Malaysia, misalnya, sudah berusia lebih 40 tahun, tidak dibubarkan," kata Abdullah. Negara, menurut Abdullah lagi, akan terpuruk jika lembaga pemberantasan korupsinya dibubarkan. Artinya, kata dia, Indonesia yang berkomitmen kuat memberantas korupsi akan musnah jika tak ada KPK. "Kalau logika DPR itu dipakai, konsekuensinya, negara Indonesia harus bubar ketika dalam sekian puluh tahun tujuan kemerdekaan belum tercapai," kata Abdullah.
Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam negeri
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyesalkan ucapan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo yang menyebut kebijakan Presiden Joko Widodosoal penurunan harga BBM sebagai upaya mencari popularitas. Tjahjo menilai bahwa Gubernur BI itu telah melakukan langkah politis. "Gubernur BI sudah melakukan langkah politis. Kalau sudah demikian, ganti saja BI sebagai partai politik," kata Tjahjo saat membuka Rapat Kerja Nasional Pencatatan Sipil di Surabaya, Selasa (6/10) malam. Menurut Tjahjo yang merupakan mantan Sekretaris Jenderal PDI-P, Gubernur BI tidak memiliki wewenang untuk menilai Presiden secara politik. Seharusnya, Gubernur BI tetap melakukan tugasnya yang menjaga kestabilan moneter, termasuk menjaga kestabilan nilai rupiah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News