kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

5 Newsmakers: Dari Anies hingga Fadli Zon


Sabtu, 21 Oktober 2017 / 05:05 WIB
5 Newsmakers: Dari Anies hingga Fadli Zon


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi


Dalam sepekan banyak peristiwa terjadi, banyak tokoh pembuat berita yang datang dan pergi. Mungkin saja ada peristiwa  lama yang muncul dengan tokoh baru, bisa juga peristiwa baru dengan tokoh lama. Selama sepekan (16—20  Oktober 2017) telah terjadi berbagai kemungkinan. Inilah lima newsmakers yang membuat kita tidak bisa berpaling dari mereka

Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta

Membuka pekan ini, kita disambut dengan ucapan “pribumi” Anies Baswedan.  Ceritanya, seusai dilantik sebagai Gubernur DKI, Anies menyampaikan pidato, yang antara lain, "Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan (dijajah). Kini telah merdeka, saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri," ujar Anies dalam pidato politiknya di Halaman Balai Kota DKI Jakarta, Senin (16/10). Sontak, istilah “pribumi” ini menjadi perbincangan, bahkan Inisiator Gerakan Pancasila Jack Boyd Lapian melaporkan Anies ke Bareskrim pada Selasa (17/10). Boyd menilai, pernyataan Anies telah memecah belah Pancasila. Lebih lanjut, Boyd mengatakan, akan lebih tepat jika Anies menyebut warga negara Indonesia, bukan pribumi. Anies menjelaskan, kata "pribumi" yang dia sampaikan dalam pidato politiknya terkait dengan masa penjajahan Belanda di Indonesia, termasuk Jakarta. Dia tidak merujuk penggunaan kata tersebut di era sekarang. "Oh, istilah itu (pribumi) digunakan untuk konteks pada era penjajahan karena saya menulisnya juga pada era penjajahan dulu," kata Anies.  Oo!

Tito Karnavian, Kepala Polisi RI

Yang juga ramai diperbincangkan pekan ini adalah soal rencana pembentukan Detasemen Khusus (Densus) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polri. Soal Densus Tipikor,  "Prinsipnya, dari semua pihak yang ada di ruangan baik DPR maupun KPK, Kejaksaan, Kumham, semua mendukung untuk langkah-langkah itu," ujar Tito dalam rapat kerja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/10).  Namun, Tito menyampaikan, bahwa akan ada pembagian tugas terhadap masing-masing institusi. Misalnya dengan KPK. Tito menuturkan, KPK bisa saja menangani kasus-kasus yang intervensi politiknya tinggi. Sementara Densus bisa menyentuh dari tingkat pusat hingga desa.  "KPK kan enggak mungkin menangani sampai ke desa-desa, kecil sekali," tuturnya.

Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI

Selama pemerintahan Joko Widodo-JK, Fadli Zon mengkritik bahwa Presiden Joko Widodo kerap terlihat beraksi sendirian atau one man show. "Pak Jokowi ini one man show. Jadi, dia bertindak sebagai Presiden, kadang-kadang gubernur, kadang-kadang bupati, wali kota, manajer, mandor si proyek, sampai tukang bagi-bagi kaus, sepeda, bagi-bagi kartu," ujar Fadli dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (20/10). Masih menurut Fadli,  tak ada upaya kolektif yang dilakukan untuk mengoptimalisasikan peran dari menteri dan birokrasi yang begitu besar. Situasi ini, kata Fadli, berbeda dari pemerintahan periode-periode sebelumnya, terlebih pada era orde baru. Para menteri di era itu, kata Fadli, lantang bicara di bidangnya sesuai dengan kompetensinya.  

Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR

Fahri Hamzah meminta Badan Anggaran (Banggar) tak mengesahkan APBN 2018 jika Presiden Joko Widodo tidak mendukung pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) Polri.  "Saya mau bicara juga sama Banggar ini. Kalau bisa, kami enggak usah mengesahkan anggaran pemerintah deh tahun ini. Capek juga pemerintahnya enggak serius gitu lho," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/10). Ia mengatakan, DPR melalui Komisi III bersama Polri serius dalam memikirkan tata kelola pemberantasan korupsi di Indonesia. Karena itu, ia meminta pemerintah menanggapinya secara serius. Fahri menambahkan, KPK tak bisa selamanya menjadi instrumen utama dalam memberantas korupsi.

Tjahjo Kumolo,  Menteri Dalam Negeri ( Mendagri)

Seringnya terjadi konflik horizontal pasca-keputusan akhir pemilihan kepala daerah, menurut Tjahjo Kumolo, karena masyarakat di daerah belum memahami aturan yang berlaku.  Ia mencontohkan, pada kasus penyerangan yang terjadi terhadap kantor Kemendagri, Rabu (11/10) lalu. "Kayak kemarin yang demo di tempat saya (Kemendagri), kan ingin membatalkan (putusan) MK. Dianggap Mendagri punya kewenangan. Itu yang harus dipahamkan," kata Tjahjo.  "Sebenarnya pemahaman masyarakat yang harus dipulihkan, kan (mereka) enggak tahu hukum," kata Tjahjo usai menghadiri Rakornas Ditjen Bina Keuangan Daerah, di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, Kamis (19/10). Karena itu, menurut Tjahjo, sosialisasi terkait proses dan peraturan dalam pemilihan kepala daerah tidak hanya dilakukan penyelenggara pemilu saja. "Saya minta juga calon kepala daerah, tim sukes perlu (melakukan) sosialisasi khusus," kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×